Sabtu, 20 Agustus 2011

Cara Menghitung Zakat Mal


Segala puji hanya milik Allâh Ta'ala, shalawat dan salam semoga senantiasa terlimpahkan kepada Nabi Muhammad Shallallâhu 'Alaihi Wasallam, keluarga dan sahabatnya.
Harta benda beserta seluruh kenikmatan dunia diciptakan untuk kepentingan manusia, agar mereka bersyukur kepada Allâh Ta’ala dan rajin beribadah kepada-Nya. Oleh karena itu tatkala Nabi Ibrahim 'alaihissalam, meninggalkan putranya, Nabi Ismail 'alaihissalam di sekitar bangunan Ka’bah, beliau berdoa:
Qs. Ibrâhîm/14:37
Ya Rabb kami,
sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian keturunanku
di lembah yang tidak mempunyai tanaman di dekat rumah-Mu yang dihormati.
Ya Rabb kami,
(yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat,
maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka
dan berilah mereka rizki dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur.

(Qs. Ibrâhîm/14:37)
Inilah hikmah diturunkannya rizki kepada umat manusia, sehingga bila mereka tidak bersyukur, maka seluruh harta tersebut akan berubah menjadi petaka dan siksa baginya.
Qs. at-Taubah/9:34-35
…Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak
dan tidak menafkahkannya pada jalan Allâh,
maka beritahukanlah kepada mereka
(bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih.
Pada hari dipanaskan emas dan perak itu dalam neraka Jahannam,
lalu dahi, lambung dan punggung mereka dibakar dengannya,
(lalu dikatakan) kepada mereka:
“Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri,
maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan itu”.

(Qs. at-Taubah/9:34-35)

Ibnu Katsir rahimahullâh berkata:
“Dinyatakan bahwa setiap orang yang mencintai sesuatu dan lebih mendahulukannya dibanding ketaatan kepada Allâh, niscaya ia akan disiksa dengannya. Dan dikarenakan orang-orang yang disebut pada ayat ini lebih suka untuk menimbun harta kekayaannya daripada mentaati keridhaan Allâh, maka mereka akan disiksa dengan harta kekayaannya. Sebagaimana halnya Abu Lahab, dengan dibantu oleh istrinya, ia tak henti-hentinya memusuhi Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam, maka kelak pada hari kiamat, istrinya akan berbalik ikut serta menyiksa dirinya. Di leher istri Abu Lahab akan terikatkan tali dari sabut, dengannya ia mengumpulkan kayu-kayu bakar di neraka, lalu ia menimpakannya kepada Abu Lahab. Dengan cara ini, siksa Abu Lahab semakin terasa pedih, karena dilakukan oleh orang yang semasa hidupnya di dunia paling ia cintai. Demikianlah halnya para penimbun harta kekayaan. Harta kekayaan yang sangat ia cintai, kelak pada hari kiamat menjadi hal yang paling menyedihkannya. Di neraka Jahannam, harta kekayaannya itu akan dipanaskan, lalu digunakan untuk membakar dahi, perut, dan punggung mereka”.[1]
Ibnu Hajar al-Asqalâni rahimahullâh berkata:
“Dan hikmah dikembalikannya seluruh harta yang pernah ia miliki, padahal hak Allâh (zakat) yang wajib dikeluarkan hanyalah sebagiannya saja, ialah karena zakat yang harus dikeluarkan menyatu dengan seluruh harta dan tidak dapat dibedakan. Dan karena harta yang tidak dikeluarkan zakatnya adalah harta yang tidak suci”.[2]
Singkat kata, zakat adalah persyaratan dari Allâh Ta’ala kepada orang-orang yang menerima karunia berupa harta kekayaan agar harta kekayaan tersebut menjadi halal baginya.

NISHAB ZAKAT EMAS DAN PERAK
Emas dan perak adalah harta kekayaan utama umat manusia. Dengannya, harta benda lainnya dinilai. Oleh karena itu, pada kesempatan ini saya akan membahas nishab keduanya dan harta yang semakna dengannya, yaitu uang kertas.
hadist

Dari Sahabat ‘Ali radhiyallâhu'anhu, ia meriwayatkan dari Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam,
Beliau bersabda:
“Bila engkau memiliki dua ratus dirham dan telah berlalu satu tahun (sejak memilikinya), maka padanya engkau dikenai zakat sebesar lima dirham. Dan engkau tidak berkewajiban membayar zakat sedikitpun – maksudnya zakat emas- hingga engkau memiliki dua puluh dinar. Bila engkau telah memiliki dua puluh dinar dan telah berlalu satu tahun (sejak memilikinya), maka padanya engkau dikenai zakat setengah dinar. Dan setiap kelebihan dari (nishab) itu, maka zakatnya disesuaikan dengan hitungan itu”.
(Riwayat Abu Dawud, al-Baihaqi, dan dishahîhkan oleh Syaikh al-Albâni)
hadist
Dari Sahabat Abu Sa’id al-Khudri radhiyallâhu'anhu, ia menuturkan:
Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bersabda:
“Tidaklah ada kewajiban zakat pada uang perak yang kurang dari lima Uqiyah “.
(Muttafaqun ‘alaih)
Dalam hadits riwayat Abu Bakar radhiyallâhu'anhu dinyatakan:
hadist
Dan pada perak, diwajibkan zakat sebesar seperdua puluh (2,5 %).
(Riwayat al-Bukhâri)
Hadits-hadits di atas adalah sebagian dalil tentang penentuan nishab zakat emas dan perak, dan darinya, kita dapat menyimpulkan beberapa hal:
1.
Nishab adalah batas minimal dari harta zakat. Bila seseorang telah memiliki harta sebesar itu, maka ia wajib untuk mengeluarkan zakat. Dengan demikian, batasan nishab hanya diperlukan oleh orang yang hartanya sedikit, untuk mengetahui apakah dirinya telah berkewajiban membayar zakat atau belum. Adapun orang yang memiliki emas dan perak dalam jumlah besar, maka ia tidak lagi perlu untuk mengetahui batasan nishab, karena sudah dapat dipastikan bahwa ia telah berkewajiban membayar zakat. Oleh karena itu, pada hadits riwayat Ali radhiyallâhu'anhu di atas, Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam menyatakan: “Dan setiap kelebihan dari (nishab) itu, maka zakatnya disesuaikan dengan hitungan itu”.
2.
Nishab emas, adalah 20 (dua puluh) dinar, atau seberat 91 3/7 gram emas.[3]
3.
Nishab perak, yaitu sebanyak 5 (lima) ‘uqiyah, atau seberat 595 gram.[4]
4.
Kadar zakat yang harus dikeluarkan dari emas dan perak bila telah mencapai nishab adalah atau 2,5%.
5.
Perlu diingat, bahwa yang dijadikan batasan nishab emas dan perak tersebut, ialah emas dan perak murni (24 karat).[5]
Dengan demikian, bila seseorang memiliki emas yang tidak murni, misalnya emas 18 karat, maka nishabnya harus disesuaikan dengan nishab emas yang murni (24 karat), yaitu dengan cara membandingkan harga jualnya, atau dengan bertanya kepada toko emas, atau ahli emas, tentang kadar emas yang ia miliki. Bila kadar emas yang ia miliki telah mencapai nishab, maka ia wajib membayar zakatnya, dan bila belum, maka ia belum berkewajiban untuk membayar zakat.

Orang yang hendak membayar zakat emas atau perak yang ia miliki, dibolehkan untuk memilih satu dari dua cara berikut.
Cara pertama, membeli emas atau perak sebesar zakat yang harus ia bayarkan, lalu memberikannya langsung kepada yang berhak menerimanya.
Cara kedua, ia membayarnya dengan uang kertas yang berlaku di negerinya sejumlah harga zakat (emas atau perak) yang harus ia bayarkan pada saat itu.
Sebagai contoh, bila seseorang memiliki emas seberat 100 gram dan telah berlalu satu haul, maka ia boleh mengeluarkan zakatnya dalam bentuk perhiasan emas seberat 2,5 gram. Sebagaimana ia juga dibenarkan untuk mengeluarkan uang seharga emas 2,5 gram tersebut. Bila harga emas di pasaran Rp. 200.000, maka, ia berkewajiban untuk membayarkan uang sejumlah Rp. 500.000,- kepada yang berhak menerima zakat.
Syaikh Muhammad bin Shâlih al-’Utsaimin rahimahullâh berkata:
“Aku berpendapat, bahwa tidak mengapa bagi seseorang membayarkan zakat emas dan perak dalam bentuk uang seharga zakatnya. Ia tidak harus mengeluarkannya dalam bentuk emas. Yang demikian itu, lebih bermanfaat bagi para penerima zakat. Biasanya, orang fakir, bila engkau beri pilihan antara menerima dalam bentuk kalung emas atau menerimanya dalam bentuk uang, mereka lebih memilih uang, karena itu lebih berguna baginya.”[6]

Catatan Penting Pertama.
Perlu diingat, bahwa harga emas dan perak di pasaran setiap saat mengalami perubahan, sehingga bisa saja ketika membeli, tiap 1 gram seharga Rp 100.000,- dan ketika berlalu satu tahun, harga emas telah berubah menjadi Rp. 200.000,- Atau sebaliknya, pada saat beli, 1 gram emas harganya sebesar Rp. 200.000,- sedangkan ketika jatuh tempo bayar zakat, harganya turun menjadi Rp. 100.000,-
Pada kejadian semacam ini, yang menjadi pedoman dalam pembayaran zakat adalah harga pada saat membayar zakat, bukan harga pada saat membeli.[7]

NISHAB ZAKAT UANG KERTAS
Pada zaman dahulu, umat manusia menggunakan berbagai cara untuk bertransaksi dan bertukar barang, agar dapat memenuhi kebutuhannya. Pada awalnya, kebanyakan menggunakan cara barter, yaitu tukar-menukar barang. Akan tetapi, tatkala manusia menyadari bahwa cara ini kurang praktis - terlebih bila membutuhkan dalam jumlah besar maka manusia berupaya mencari alternatif lain. Hingga akhirnya, manusia mendapatkan bahwa emas dan perak sebagai barang berharga yang dapat dijadikan sebagai alat transaksi antar manusia, dan sebagai alat untuk mengukur nilai suatu barang.
Dalam perjalanannya, manusia kembali merasakan adanya berbagai kendala dengan uang emas dan perak, sehingga kembali berpikir untuk mencari barang lain yang dapat menggantikan peranan uang emas dan perak itu. Hingga pada akhirnya ditemukanlah uang kertas. Dari sini, mulailah uang kertas tersebut digunakan sebagai alat transaksi dan pengukur nilai barang, menggantikan uang dinar dan dirham.
Berdasarkan hal ini, maka para ulama menyatakan bahwa uang kertas yang diberlakukan oleh suatu negara memiliki peranan dan hukum, seperti halnya yang dimiliki uang dinar dan dirham. Dengan demikian, berlakulah padanya hukum-hukum riba dan zakat.[8]
Bila demikian halnya, maka bila seseorang memiliki uang kertas yang mencapai harga nishab emas atau perak, ia wajib mengeluarkan zakatnya, yaitu 2,5% dari total uang yang ia miliki. Dan untuk lebih jelasnya, maka saya akan mencoba mejelaskan hal ini dengan contoh berikut.
Misalnya satu gram emas 24 karat di pasaran dijual seharga Rp.200.000,- sedangkan 1 gram perak murni dijual seharga Rp. 25.000,- Dengan demikian, nishab zakat emas adalah 91 3/7 x Rp. 200.000 = Rp. 18.285.715,- sedangkan nishab perak adalah 595 x Rp 25.000 = Rp. 14.875.000,-.
Apabila pak Ahmad (misalnya), pada tanggal 1 Jumadits-Tsani 1428 H memiliki uang sebesar Rp. 50.000.000,- lalu uang tersebut ia tabung dan selama satu tahun (sekarang tahun 1429H) uang tersebut tidak pernah berkurang dari batas minimal nishab di atas, maka pada saat ini pak Ahmad telah berkewajiban membayar zakat malnya. Total zakat mal yang harus ia bayarkan ialah:
Rp. 50.000.000 x 2,5 % = Rp 1.250.000,-
(atau Rp. 50.000.000 dibagi 40)
Pada kasus pak Ahmad di atas, batasan nishab emas ataupun perak, sama sekali tidak diperhatikan, karena uang beliau jelas-jelas melebihi nishab keduanya. Akan tetapi, bila uang pak Ahmad berjumlah Rp. 16.000.000,- maka pada saat inilah kita mempertimbangkan batas nishab emas dan perak. Pada kasus kedua ini, uang pak Ahmad telah mencapai nishab perak, yaitu Rp. 14.875.000,- akan tetapi belum mancapai nishab emas yaitu Rp 18.285.715.
Pada kasus semacam ini, para ulama menyatakan bahwa pak Ahmad wajib menggunakan nishab perak, dan tidak boleh menggunakan nishab emas. Dengan demikian, pak Ahmad berkewajiban membayar zakat mal sebesar :
Rp. 16.000.000 x 2,5 % = Rp. 400.000,-
(atau Rp. 16.000.000,- dibagi 40)
Komisi Tetap Untuk Fatwa Kerajaan Saudi Arabia dibawah kepemimpinan Syaikh ‘Abdul-’Aziz bin Bâz rahimahullâh pada keputusannya no. 1881 menyatakan:
“Bila uang kertas yang dimiliki seseorang telah mencapai batas nishab salah satu dari keduanya (emas atau perak), dan belum mencapai batas nishab yang lainnya, maka penghitungan zakatnya wajib didasarkan kepada nishab yang telah dicapai tersebut”.[9]

Catatan Penting Kedua.
Dari pemaparan singkat tentang nishab zakat uang di atas, maka dapat disimpulkan bahwa nishab dan berbagai ketentuan tentang zakat uang adalah mengikuti nishab dan ketentuan salah satu dari emas atau perak. Oleh karena itu, para ulama menyatakan bahwa nishab emas atau nishab perak dapat disempurnakan dengan uang atau sebaliknya.[10]
Berdasarkan pemaparan di atas, bila seseorang memiliki emas seberat 50 gram seharga Rp. 10.000.000, (dengan asumsi harga 1 gram emas adalah Rp. 200.000,-) dan ia juga memiliki uang tunai sebesar Rp. 13.000.000, maka ia berkewajiban membayar zakat 2,5 %. Dalam hal ini walaupun masing-masing dari emas dan uang tunai yang ia miliki belum mencapai nishab, akan tetapi ketika keduanya digabungkan, jumlahnya (Rp. 23.000.000,-) mencapai nishab.
Dengan demikian orang tersebut berkewajiban membayar zakat sebesar Rp. 575.000,- berdasarkan perhitungan sebagai berikut:
(Rp 10.000.000,- + Rp. 13.000.000,-) x 2,5 % = Rp. 575.000,-
(atau Rp. 23.000.000,- dibagi 40)

ZAKAT PROFESI
Pada zaman sekarang ini, sebagian orang mengadakan zakat baru yang disebut dengan zakat profesi, yaitu bila seorang pegawai negeri atau perusahaan yang memiliki gaji besar, maka ia diwajibkan untuk mengeluarkan 2,5 % dari gaji atau penghasilannya. Orang-orang yang menyerukan zakat jenis ini beralasan, bila seorang petani yang dengan susah payah bercocok tanam harus mengeluarkan zakat, maka seorang pegawai yang kerjanya lebih ringan dan hasilnya lebih besar dari hasil panen petani, tentunya lebih layak untuk dikenai kewajiban zakat. Berdasarkan qiyas ini, para penyeru zakat profesi mewajibkan seorang pegawai untuk mengeluarkan 2,5 % dari gajinya dengan sebutan zakat profesi.
Bila pendapat ini dikaji dengan seksama, maka kita akan mendapatkan banyak kejanggalan dan penyelewengan. Berikut secara sekilas bukti kejanggalan dan penyelewengan tersebut:
1.
Zakat hasil pertanian adalah (seper-sepuluh) hasil panen bila pengairannya tanpa memerlukan biaya, dan (seper-duapuluh) bila pengairannya membutuhkan biaya. Adapun zakat profesi, maka zakatnya adalah 2,5 % sehingga Qiyas semacam ini merupakan Qiyas yang sangat aneh (ganjil) dan menyeleweng.
2.
Gaji diwujudkan dalam bentuk uang, maka gaji lebih tepat bila dihukumi dengan hukum zakat emas dan perak, karena sama-sama sebagai alat jual beli dan standar nilai barang.
3.
Gaji bukanlah hal baru dalam kehidupan manusia secara umum dan umat Islam secara khusus. Keduanya telah ada sejak zaman dahulu kala. Berikut beberapa bukti yang menunjukkan hal itu:
Sahabat ‘Umar bin al-Khaththab radhiyallâhu'anhu pernah menjalankan suatu tugas dari Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam. Lalu ia pun diberi upah oleh Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam. Pada awalnya, Sahabat ‘Umar radhiyallâhu'anhu menolak upah tersebut, akan tetapi Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bersabda kepadanya:
“Bila engkau diberi sesuatu tanpa engkau minta, maka makan (ambil) dan sedekahkanlah”.
(Riwayat Muslim)
Seusai Sahabat Abu Bakar radhiyallâhu'anhu dibai’at untuk menjabat khilafah, beliau berangkat ke pasar untuk berdagang sebagaimana kebiasaan beliau sebelumnya. Di tengah jalan beliau berjumpa dengan ‘Umar bin al-Khaththab radhiyallâhu'anhu, maka ‘Umar pun bertanya kepadanya:
“Hendak kemanakah engkau?”
Abu Bakar menjawab:
“Ke pasar”.
‘Umar kembali bertanya:
“Walaupun engkau telah mengemban tugas yang menyibukanmu?”
Abu Bakar menjawab:
“Subhanallah, tugas ini akan menyibukkan diriku dari menafkahi keluargaku?”
Umar pun menjawab:
“Kita akan memberimu secukupmu”.
(Riwayat Ibnu Sa’ad dan al-Baihaqi)

Imam al-Bukhâri juga meriwayatkan pengakuan Sahabat Abu Bakar radhiyallâhu'anhu tentang hal ini.
hadist
Sungguh, kaumku telah mengetahui
bahwa pekerjaanku dapat mencukupi kebutuhan keluargaku.
Sedangkan sekarang aku disibukkan oleh urusan kaum muslimin,
maka sekarang keluarga Abu Bakar
akan makan sebagian dari harta ini (harta baitul-mâl),
sedangkan ia akan bertugas mengatur urusan mereka.

(Riwayat Bukhâri)

Riwayat-riwayat ini semua membuktikan, bahwa gaji dalam kehidupan umat Islam bukan sesuatu yang baru, akan tetapi, selama 14 abad lamanya tidak pernah ada satu pun ulama yang memfatwakan adanya zakat profesi atau gaji. Ini membuktikan bahwa zakat profesi tidak ada. Yang ada hanyalah zakat mal, yang harus memenuhi dua syarat, yaitu hartanya mencapai nishab dan telah berlalu satu haul (1 tahun).

Oleh karena itu, ulama ahlul-ijtihad yang ada pada zaman kita mengingkari pendapat ini. Salah satunya ialah Syaikh Bin Bâz rahimahullâh, beliau berkata:
“Zakat gaji yang berupa uang, perlu diperinci, bila gaji telah ia terima, lalu berlalu satu tahun dan telah mencapai satu nishab, maka wajib dizakati. Adapun bila gajinya kurang dari satu nishab, atau belum berlalu satu tahun, bahkan ia belanjakan sebelumnya, maka tidak wajib dizakati”.[11]
Fatwa serupa juga telah diedarkan oleh Anggota Tetap Komite Fatwa Kerajaan Saudi Arabia, dan berikut ini fatwanya:
“Sebagaimana telah diketahui bersama, bahwa di antara harta yang wajib dizakati adalah emas dan perak (mata uang). Dan di antara syarat wajibnya zakat pada emas dan perak (uang) adalah berlalunya satu tahun sejak kepemilikan uang tersebut. Mengingat hal itu, maka zakat diwajibkan pada gaji pegawai yang berhasil ditabungkan dan telah mencapai satu nishab, baik gaji itu sendiri telah mencapai satu nishab atau dengan digabungkan dengan uangnya yang lain dan telah berlalu satu tahun. Tidak dibenarkan untuk menyamakan gaji dengan hasil bumi, karena persyaratan haul (berlalu satu tahun sejak kepemilikan uang) telah ditetapkan dalam dalil, sehingga tidak boleh ada Qiyas. Berdasarkan itu semua, maka zakat tidak wajib pada tabungan gaji pegawai hingga telah berlalu satu tahun (haul)”.[12]
Sebagai penutup tulisan singkat ini, saya mengajak pembaca untuk senantiasa merenungkan janji Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam berikut:
hadist
Tidaklah shadaqah itu akan mengurangi harta kekayaan.
(HR. Muslim)
Semoga pemaparan singkat di atas dapat membantu pembaca memahami metode penghitungan zakat maal yang benar menurut syari’at Islam. Wallahu Ta’ala A’lam bish-Shawâb.
[1]
Tafsir Ibnu Katsir (2/351-352). Hal semakna juga diungkapkan oleh Ibnu Hajar al-Asqalâni dalam kitabnya, Fathul-Bâri (3/305).
[2]
Lihat Fathul-Bâri, 3/305.
[3]
Penentuan nishab emas dengan 91 3/7 gram, berdasarkan keputusan Komisi Tetap Fatwa Kerajaan Saudi Arabia no. 5522. Adapun Syaikh Muhammad bin Shâlih al-’Utsaimin menyatakan, bahwa nishab zakat emas adalah 85 gram, sebagaimana beliau tegaskan dalam bukunya, Majmu’ Fatâwâ wa Rasâ‘il, 18/130 dan 133).
[4]
Penentuan nishab perak dengan 595 gram, berdasarkan penjelasan Syaikh Muhammad bin Shalih al-’Utsaimin pada berbagai kitab beliau, di antaranya Majmu’ Fatâwâ wa Rasâ‘il, 18/141.
[5]
Lihat Subulus-Salâm, ash-Shan’ani, 2/129.
[6]
Lihat Majmu’ Fatâwâ wa Rasâ‘il 18/155. Demikian juga difatwakan oleh Komisi Tetap Fatwa Kerajaan Saudi Arabia pada fatwanya no. 9564.
[7]
Majmu’ Fatâwâ wa Rasâ‘il, 18/96.
[8]
Sebagaimana ditegaskan pada keputusan konferensi Komisi Fiqih Islam di bawah Rabithah ‘Alam al-Islami, no. 6, pada rapatnya ke 5, tanggal 8 s/d 16 Rabiul-Akhir, Tahun 1402 H. Dan juga pada keputusan Komisi Tetap Fatwa Kerajaan Saudi Arabia no. 1881, 1728, dan difatwakan oleh Syaikh Muhammad bin Shâlih al-’Utsaimin dalam Majmu’ Fatâwâ wa Rasâ`il, 18/173.
[9]
Lihat Majmu’ Fatâwâ, Komisi Tetap Fatwa Kerajaan Saudi Arabia (9/254 fatwa no. 1881) dan Majmu’ Fatâwâ wa Maqalât al-Mutanawwi‘ah oleh Syaikh ‘Abdul-’Aziz bin Bâz (14/125).
[10]
Lihat Maqalaat a- Mutanawwi’ah, Syaikh ‘Abdul-’Aziz bin Bâz, 14/125.
[11]
Maqalât al-Mutanawwi’ah, Syaikh ‘Abdul-’Aziz bin Bâz, 14/134. Pendapat serupa juga ditegaskan oleh Syaikh Muhammad bin Shalih al-’Utsaimin dalam Majmu’ Fatâwâ wa ar-Rasâ`il, 18/178.
[12]
Majmu’ Fatâwâ, Komisi Tetap Fatwa Kerajaan Saudi Arabia, 9/281 fatwa no. 1360.

(Majalah As-sunnah Edisi 05/Tahun XII)

Rumus Cara Menghitung Zakat Maal/Harta, Fitrah & Profesi Serta Nisab Dalam Agama Islam

Seorang muslim yang mampu dalam ekonomi wajib membayar sebagian harta yang dimiliki kepada orang-orang yang berhak menerimanya baik melalui panitia zakat maupun didistribusikan secara langsung / sendiri. Hukum zakat adalah wajib bila mampu secara finansial dan telah mencapai batas minimal bayar zakat atau yang disebut nisab.
Situs web organisasi.org ini akan memberikan rumus dan contoh untuk pembayaran zakat fitrah untuk membersihkan diri, zakat mal atau zakat harta kekayaan dan zakat profesi dari penghasilan yang didapat dari pekerjaan yang dilakoni.
A. Rumus Perhitungan Zakat Fitrah
Zakat Fitrah Perorang = 3,5 x harga beras di pasaran perliter
Contoh : Harga beras atau makanan pokok lokal yang biasa kita makan dan layak konsumsi di pasar rata-rata harganya Rp. 10.000,- maka zakat fitra yang harus dibayar setiap orang mampu adalah sebesar Rp. 35.000,-
Kalau menghitung dari segi berat pengalinya adalah 2,5 x harga beras atau bahan makanan pokok lokal perkilogram.
B. Rumus Perhitungan Zakat Profesi / Pekerjaan
Zakat Profesi = 2,5% x (Penghasilan Total - Pembayaran Hutang / Cicilan)
Menghitung Nisab Zakat Profesi = 520 x harga beras pasaran perkg
Contoh Perhitungan Dalam Zakat Profesi :
Jika Bang Jarwo punya gaji 2 juta perbulan dan penghasilan tambahan dari kios jualan pulsa dan perdana sebesar 8 juta perbulan maka total penghasilan Bang Jarwo sebesar 10 juta tiap bulan. Bang Jarwo membayar cicilan kredit apartemen tidak bersubsidi pemerintah sebesar 5 juta perbulan.
Harga beras sekilo yang biasa dikonsumsi yaitu sekitar Rp. 8.000,- per kilogram, sehingga nisab zakatnya adalah Rp. 4.160.000,-. Karena Bang Jarwo penghasilan bersihnya 5 juta dan ada di atas nisab, maka Bang Jarwo harus bayar zakat profesi sebesar Rp. 5 juta x 2,5% = Rp. 125.000,- di bulan itu. Untuk bulan selanjutnya dihitung kembali sesuai situasi dan kondisi yang ada.
Zakat profesi memang jadi perdebatan karena tidak ada dalil yang mengena. Di kantor pemerintah umumnya setiap penghasilan otomatis dipotong 2,5% (penuh) untuk zakat profesi. Dengan begitu institusi resmi (ulama) Agama Islam di Indonesia berarti belum mengeluarkan fatwa haram untuk zakat profesi artinya bukan bid'ah. Jika anda tidak sependapat maka sebaiknya ikhlaskan saja dan anggap itu sebagai amal sodakoh anda atau tidak mengeluarkan zakat profesi tetapi membayar zakat mal.
C. Menghitung Zakat Maal / Harta Kekayaan
Zakat Maal = 2,5% x Jumlah Harta Yang Tersimpan Selama 1 Tahun (tabungan dan investasi)
Menghitung Nisab Zakat Mal = 85 x harga emas pasaran per gram
Contoh Perhitungan Dalam Zakat Maal Harta:
Nyonya Upit Marupit punya tabungan di Bank Napi 100 juta rupiah, deposito sebesar 200 juta rupiah, rumah rumah kedua yang dikontrakkan senilai 500 juta rupiah dan emas perak senilai 200 juta. Total harta yakni 1 milyar rupiah. Semua harta sudah dimiliki sejak satu tahun yang lalu.
Jika harga 1 gram emas sebesar Rp. 250.000,- maka batas nisab zakat maal adalah Rp. 21.250.000,-. Karena harta Nyonya Upit Marupit lebih dari limit nisab, maka ia harus membayar zakat mall sebesar Rp. 1 milyar x 2,5% = 25 juta rupiah per tahun.
Harta yang wajib dibayarkan zakat mal / zakat harta :
Emas, perak, uang simpanan, hasil pertanian, binatang ternak, benda usaha (uang, barang dagangan, alat usaha yang menghasilkan) dan harta temuan.
Perhitungan untuk hasil pertanian, peternakan, dan harta temuan ada ketentuan yang berbeda dalam hal nisab maupun besaran zakatnya. Ada juga buku yang berpendapat nisab emas adalah 93,6 gram dan perak 672 gr. Untuk lebih mudah bisa kita konversi ke rupiah dulu.
----
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang menimbun harta. Oleh karena itu hiduplah sederhana dan gunakan harta untuk diputar kembali dalam perekonomian secara halal. Jangan lupa perbanyak sedekah.
Sumber : Dari Buku dan Referensi Agama Islam Yang Saya Baca
- Keterangan Tambahan :
Kalau salah tolong dibenarkan!
Bagilah ilmu yang kamu punya dan kamu yakini benar walaupun salah dan mudah-mudahan diperbaiki orang lain yang paham.
Dalil tidak ada karena bukunya tidak memberi dalil. Kalau anda tahu tolong diberitahu.
Jika mampu bayarlah zakat lebih daripada kurang.
Hitungan satu tahun gunakan kalender hijriah / penanggalan islam.

Sabtu, 13 Agustus 2011

Ceramah Ramadhan : Zakat Fitrah



Ceramah Ramadhan : Zakat Fitrah

Pada saat-saat menjelang hari raya Idul Fitri ini, Allah telah mensyariatkan/menetapkan suatu ibadah  sebagai penyempurna amal ibadah Ramadhan, yaitu Zakat Fitrah.
Zakat Fitrah adalah mengeluarkan makanan yang biasa dijadikan sebagai bahan  makanan pokok di suatu negeri; dan bagi masyarakat muslim Indonesia adalah beras, sebanyak kurang lebih 2,5 kg, yang dibagi dan diperuntukkan untuk para fuqara dan masakin sebelum pelaksanaan shalat Idul Fitri. Nama lain dari zakat fitri ini antara lain, zkat shaum, sadaqah fitri, sadaqah Ramadhan, zakat al-abdan, dan sadaqah al-ru’us. Zakat ini disyari’atkan pertama kali pada tahun kedua Hijrah. Ceramah Ramadhan : Zakat Fitrah
Rasulullah saw. mewajibkan zakat fitri pada bulan Ramadhan sebagai penyucian diri bagi orang yang berpuasa dari perbuatan fakhsya yang mungkin dilakukannya saat berpuasa.  Zakat Fitri dianggap  sebagai penambal celah-celah bolong  yang terjadi pada waktu berpuasa, sebagaimana halnya sujud sahawi dapat dianggap sebaga ipenambal celah-celah bolong karena lupa ketika shalat. Zakat Fitri juga merupakan usaha untuk mencegah orang-orang fakir dan miskin dari meinta-minta pada Hari Raya, sekaligus menumbuhkan perasaan gembira bagi mereka, merasakan keagungan Islan, kedermawanan sosial, dan pengakuan kemanusiaan mereka. Ceramah Ramadhan : Zakat Fitrah
Dalam hadis disebutkan:
Rasulullah Saw. mewajibkan Zakat Fitri untuk mensucikan orang yang puasa dari perbuatan iseng dan ucapan yang tidak baik, disamping untuk memberi makan orang-orang miskin.  Barangsiapa yang menunaikannya sebelum shalat Id maka dianggap zakat yang diterima.  Dan barangsiapa yang menunaikannya sesudah shalat Id maka dianggap sedekah biasa seperti sedekah-sedekah yang lain.
Zakat adalah salah satu rukun Islam dan berfungsi sebagai tiang pokok ajaran Islam.  Di dalam al-Qur’an cukup banyak disebutkan perintaqh zakat serangkai dengan perintah shalat.  Sebanyak 16 kali kata  Aqiimusshalat berulang dalam al-Qur’an, 8 kali di antaranya digandengkan dengan kata Aatuzzakat.  Oleh karena itu, paling tidak, dipahami bahwa kewajiban zakat setara kuatnya dengan hukum perintah shalat.  Misalnya saja, Allah berfirman dalam QS. Al-Baqarah (2): 43:
Dan dirikanlah shalat, tunaikan zakat dan rukulah beserta orang-orang yang ruku
            Jadi, zakat hendaknya dapat membangun dan menciptakan kesadaran untuk tidak sekedar memberi, tetapi diharapkan lebih dari itu.  Ia harus menjadi mitra bagi kaum dhu’afa yang biasanya sering dikesampingkan hak-hak mereka untuk memperoleh keadilan sosial.  Lagi pula, pemberian ala kadarnya yang bergaya sinterklas justru semakin mengukuhkan suatu bentuk kesadaran imitasi yang membuat mereka bersifat pasrah pada nasib buruk dan berprilaku menunduk-nunduk.
            Memang risalah yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw. adalah untuk mengatur hidup dan kehidupan manusia di dunia, bukan untuk menjauhi dan mengingkari dunia.  Misi yang dibawa Nabi Muhammad justru untuk mendorong, memotivasi, dan bahkan memerintahkan agar umat manusia mencari dan menggali karunia Allah yang tersedia di alam raya ini, untuk kemudian dimanfaatkan dan dinikmati.  Sebagaimana firman Allah di dalam QS. Al-Qashash (28): 73:
Dan sebagian dari rahmat Allah itu (adalah) menjadikan bagi kalian malam untuk beristirahat dan siang untuk berusaha, agar memperoleh karunia-Nya, dan mudah-mudahan kalian bersyukur (kepada-Nya).
            Akan tetapi, patut dihargai bahwa disamping manusia didorong untuk mempunyai gairah dalam berusaha mencari dan menggali segala pemberian Allah yang dibentangkan di bumi ini untuk meningkatkan taraf hidupnya, Allah Swt. juga mengutuk karunia Allah itu hanya dinikmati oleh segelintir atau sebagian mahluk-Nya, sedangkan sebagian yang lain tidak mendapat bagian dan kesempatan untuk menikmatinya. Akibatnya, timbullah jurang pemisah antara golongan yang kuat dengan kekayaan yang melimpah ruah dan tidak memperoleh tingkat hidup yang layai untuk memenuhi persyaratan minimal baig kehidupan manusia.  Dalam hal ini, Allah SWT. mengaskan di dalam QS. ALHUMAZAH (104): 1-4:
Celakalah bagi pengumpat dan penista (pencela); yang menumpuk-numpuk harta benda dan menghitung-hitungnya; Ia mengira harta bendanya itu akan kekal memlihara dia; Tidak! Sekali-kali tidak Ia (benar-benar) akan dilemparkan ke dalam neraka Hurthamah.
Begitu pula, didalam QS. At-Takatsur (102) : 1-3:
Kamu telah dilalaikan dalam perlombaan memperbanyak harta benda; sehingga kalian masuk ke liang kubur; jangan begitu, (Sebab) nanti kalian akan mengetahui (akibat perbuatan kalian)
Melalui ayat-ayat di atas, sesungguhnya Allah telah memperingatkan agar manusia tidak membuat bencana bagi dirinya sendiri dengan cara menumpuk-numpuk harta bagi diri dan kelompoknya. Tanpa ada pembagian pendapatan secara merata.  Mereka tidak sadar bahwa penumpukan kekayaanya itu dilakukan dengan daa upayanya untuk kebahagiaannya sendiri, tanpa memperlihatkan nasib orang lain. Ceramah Ramadhan : Zakat Fitrah
Banyak ayat Al-Qur’an yang memerintahkan pembagian rezeki secara merata, seperti ditegaskan di dalam QS. AL-Isra’ (17):  26:
Berikan haknya para kerabat (keluarga terdekat), orang-orang miskin dan orang-orang yang kehabisan dalam perjalanan, dan janganlah kamu menghamburkan harta secara boros (yang tidak ada gunanya)
Dalam pada itu, kewajiban mengeluarkan zakat merupakan pembagian kembali pendapatan yang diperoleh dari usahanya untuk di berikan kepada kaum fakir dan miskin.
Tegasnya, zakat, tidak terkecuali bahkan utamanya Zakat Fitri, harus memiliki fungsi sosial cultural, yakni ditemukannya juga suatu cara untuk meningkatkan kesejahteraan umat. Kita tidak hanya memandang pemanfaatan kaum dhu’afa, tetapi secara sedikit demi sedikit, dalam bulan suci Ramadhan social masyarakat.  Dengan mengelauarkan zakat, insya Allah kesejahteraan umat bisa merata dan keadilan sicial masyarakat dapat terwujud, karena kedua belah pihak saling mengisi.Ceramah Ramadhan : Zakat Fitrah